Istilah Feodalisme di Indonesia dihubungkan dengan pandangan yang kolot, sebagai kelanjutan dari tata-cara bangsawan keraton. Dalam hal ini Furnivall memandang hubungan antara para raja Jawa dengan para bangsawannya di masa kerajaan Mataram, sebagai pseudo-feodalisme atau feodalisme semu. Hubungan di antara mereka bukan atas dasar hubungan penguasaan lahan, melainkan atas dasar hubungan darah (kekerabatan).
Kekuasaan para bangsawan dilihat dari banyaknya pengikut dari kalangan rakyat yang diikat dengan konsepsi manunggaling kawula gusti yaitu bersatunya tuan dengan hamba, atau bawahan dengan atasan. Konsekuensinya kehendak gusti sebagai orang yang dipertuan harus dijalankan. Hubungan kawula-gusti semakin jauh dengan datangnya Belanda ke Indonesia. Penjajah Belanda banyak turut campur masalah keraton. Kemudian membuat stratifikasi sosial seluruh kehidupan di Indonesia.
Pengertian dan Proses terjadinya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah pembedaan atau pengelompokan masyarakat ke dalam lapisan – lapisan sosial secara bertingkat/ vertical. Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:
- Secara tidak sengaja
Proses stratifikasi sosial secara tidak sengaja yang dibawa individu sejak lahir. Faktor – faktornya adalah, kepandaian, usia atau umur, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. - Secara sengaja
Stratifikasi dapat terjadi secara sengaja apabila ada suatu usaha dari individu yang bersangkutan untuk mencapai tujuan. Usaha tersebut diantaranya dalam bidang :
1) Kekayaan/ekonomi
2) Kekuasaan/wewenang/politik
3) Pendidikan
Dasar – Dasar Stratifikasi Sosial
Dasar stratifikasi dalam masyarakat disebabkan oleh adanya sesuatu yang dihargai lebih, misalnya keturunan, kekayaan, kekuasaan, pendidikan dan kehormatan.
- Keturunan
Keturunan adalah pembawaan sejak lahir atau berdasarkan dari orang tua. Keturunan dibagi menjadi dua yaitu feodal dan kasta. - Kekayaan
Kekayaan adalah jumlah harta benda yang dimiliki seseorang. Kekayaan dibagi menjadi tiga yaitu Kelas atas, Kelas menengah dan Kelas bawah. - Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh jabatan, wewenang, politik dan kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat. Kekuasaan dibagi atas tiga yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. - Pendidikan
Pendidikan adalah suatu ukuran ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam mencapai cita-cita. Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan atau yang memiliki keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi, jika dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status seseorang juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain, misalnya pengetahuan agama, ketrampilan khusus, kesaktian. Jenjang pendidikan antara lain S3, S2, S1, SMA, SMP dan SD. - Kehormatan
Kehormatan itu desertai dengan kekayaan dan kekuasaan, yang meliputi Juragan tanah, Penggarap tanah, Pekerja/ buruh.
Ciri-ciri masyarakat feodal
Masyarakat feodal adalah suatu masyarakat yang menganut nilai berlebihan bagi yang berkuasa. Hal ini diakui bahwa keberadaannya milik kaum lelaki (patriakhi). Ciri-ciri masyarakat feodal, yaitu :
- Ditandai dengan adalnya lapisan atas Lord (tuan tanah) dan vassal (buruh)
- Penguasaan (segala aspek) lapisan atas terhap lapisan atas.
- Adanya kepatuhan (absolud) lapisan bawan terhadap lapisan atas.
- Nasib lapisan bawah sangat ditentukan oleh lapisan atas.
- Kekuasaan dan kewenangan hanya dimiliki oleh lapisan atas.
- Lapisan bawah tidak memiliki hak untuk berpendapat (tidak ada demokratisasi)
- Merupakan peralihan dari budak ke buruh.
- Lapisan atas memberikan perlindungan fisik dan nonfisik terhadap lapisan bawah sebai konsekuensi timbale balik lapisan bawah telah mengabdi kepada lapisan atas.
- Sifat pelapisan sosialnya tertutup.
- Sulit sekali terjadi mobilitas dari lapis bawah ke atas.
Sistem Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Feodal
Pola dasar masyarakat feodal;
- Raja dan kaum bangsawan merupakan pusat kekuasaan yang harus ditaati dan dihormati oleh rakyatnya, keran raja mempunyai hak istimewa.
- Terdapat lapisan utama, yakni raja dan kaum bangsawan (kaum feodal) dan lapisan di bawahnya, yakni rakyatnya.
- Adanya pola dan ketergantungan dan patriomonialistik. Artinya, kaum feodal merupakan tokoh panutan yang harus disegani, sedangkan rakyat harus hidup menghamba dan selalu dalam posisi dirugikan.
- Terdapat pola hubungan antarkelompok yang diskriminatif, yaitu kaum feodal memperlakukan bawahannya secara tidak adil dan cenderung sewenang-wenang.
- Golongan bawah cenderung memilki sistem stratifikasi tertutup.
Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal Jawa
Menurut Soeyatno feodalisme di Indonesia, terutama di Jawa memiliki beberapa stratifikasi sosial, yaitu :
- Santono Dalem, mereka ini adalah keluarga raja, seperti pangeran, bangsawan yang digolongkan sebagai kelas penguasa;
- Abdi Dalem, yaitu para pegawai kerajaan;
- Kawula Dalem, yaitu rakyat.
Ketiga struktur sosial feodal tersebut berlaku di Surakarta pada saat sebelum kemerdekaan, bahkan telah ada sejak jaman kerajaan Mataram. Koentjaraningrat membagi dua kelas sosial di Jawa secara umum, khususnya di Jawa Tengah, yaitu,
- Priyayi, yang terdiri dari priyayi gede (santono dalem) dan priyayi (abdi dalem);
- Wong cilik (kawula dalem).
“Priyayi” muncul pada jaman penjajahan Belanda sebagai sebutan terhadap terhadap kaum bangsawan atau pegawai pemerintahan Hindia-Belanda yang telah memperoleh pendidikan untuk mengabdi atau menjadi pegawai. Istilah priyayi sebenarnya berasal dari kata para-yayi yang artinya adik-adik raja, tetapi perkembangannya mengalami perubahan sesuai dengan stratifikasi sosial yang berlaku saat itu.
Geertz (dalam Soeyatno) membagi masyarakat Jawa secara trikotomi : santri – abangan – priyayi kemudian menjadikannya menjadi empat kelas sosial, yaitu,
- Priyayi Santri, yaitu pengawai kerajaan yang mengurus masalah keagamaan;
- Priyai abangan, pegawai kerajaan yang mengurus masalah lain di luar masalah keagamaan;
- Wong cilik santri, mereka yang belajar di pondok-pondok pesantren di bawah ulama/kiai;
- Wong cilik abangan, secara umum terdapat di desa sebagai pegawai kelurahan atau pegawai rendahan di kota. Mereka dapat pula tidak bekerja sebagai pegawai tetapi bekerja di bidang lain.
Priyayi Santri yaitu pegawai kerajaan yang mengurus masalah keagamaan. Mereka adalah pengulon atau abdi dalem pemetakan yang terdiri dari pengulu (bergelar Raden Tumenggung), Katib, Ngulomodamel, Jaksa Ngulomomiji, Muazin, Mudarin, Kebayan, Syarif, dan Marbot. Kelompok sosial agama yang dapat di masukan ke dalam abdi dalem pametakan adalah abdi dalem suronotan, mereka memiliki fungsi mengurus mesjid Suronoto dan Mesjid Besar. Abdi dalem pengulon mempunyai fungsi mengurus perkawinan dan warisan antara priyayi dalem dan priyatun jawi.
Feodalisme pengaruhnya berangsur-angsur menurun setelah banyaknya bangsa Indonesia yang berpendidikan. Mereka tidak lagi menginginkan adanya sistem kekuasaan secara tradisional yang turun temurun, melainkan secara rasional berdasarkan kemampuan, kecakapan dan keterampilan memimpin. Hal ini, dimulai sejak politik etika yang diberikan pemerintah kolonial Hindia-Belanda kepada bangsa Indonesia.
Pada mulanya putra-putri kaum priyayi berkedudukan tinggi saja diperbolehkan untuk menikmati pendidikan yang diselenggarakan khusus untuk orang Belanda. Tetapi lama-kelamaan muncul kesadaran pentingnya pendidikan dari kalangan non-priyayi yang memiliki ikatan kerabat dengan para bupati atau priyayi-priyayi yang lain. Mereka banyak menitipkan putra-putrinya untuk bersekolah, agar kepandaiannya dapat dimanfaatkan untuk menjadi priyayi atau dapat menaikan status orang tuanya di mata masyarakat.
Kemudian bermunculan sekolah-sekolah untuk bangsa Indonesia yang diselenggarakan oleh mereka yang telah sadar akan pentingnya pendidikan untuk meraih kemerdekaan, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan. Banyak di antara mereka yang menjadi tokoh-tokoh nasional dan kemudian menjadi pemikir-pemikir kemerdekaan Indonesia.
Merupakan Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa keturunan bangsawan yang terpelajar pada masa itu banyak yang turut dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali, karena mereka sadar akan nasib bangsanya. Mereka juga meninggalkan bentuk kehidupan feodal, dengan meleburkan diri untuk mencapai tujuan bersama yaitu Indonesia Merdeka. Walaupun demikian di antara mereka adapula yang membantu Belanda dan mendukung feodalisme, karena ingin mempertahankannya dan takut kehilangan kedudukan yang dianggap dapat membahagiakan.
Perkembangan feodalisme di Jawa berbeda dengan perkembangan feodalisme di daerah-daerah lain, karena nilai-nilai yang dianutnya berlainan. Misalnya, perkembangan feodalisme di Aceh pada hakekatnya sama dengan feodalisme di Jawa. Adapun perbedaannya berdasarkan dari dukungan ulama. Di Jawa priyayi sering meminta nasihat dan mendapat dukungan ulama, sedangkan di Aceh para uleebalang selalu bertentangan dengan ulama.
Lapisan Sosial Masyarakat Feodal di Aceh
Aceh sebagai daerah bekas kerajaan, masih memiliki sisa-sisa feodalisme yang kuat sampai saat ini. Hal ini terbukti dari strata sosial yang ada. Ada pun strata sosial masyarakat Aceh;
- Keturunan raja atau bangsawan sebagai golongan atas. Penghargaan terhadap keturunan ini berupa gelar-gelar tertentu, seperti Cut untuk perempuan, Teuku dan Teungku untuk laki-laki.
- Golongan kedua meliputi olee baling (pegawai/pengawal raja).
- Golongan bawah, yakni rakyat jelata.
Lapisan Sosial pada Masyarakat Feodal Surakarta dan Yogyakarta
Secara umum, masyarakat Surakarta dan Yogyakarta masih nenganut sistem feodal, walaupun tidakl sekental pada masa penjajahan Belanda. Pengaruh feodalisme tampak menonjol karena di Surakarta ada Kasunan Surakarta Hadiningrat yang saat ini dikepali oleh Sri Susuhunan Paku Buwono XII serta Pura Mangkunegoro IX . D Yogyakarta terdapat Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang saat ini dikepalai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, serta PuraPakualaman yang saat ini dikepalai oleh Sri Paduka Paku Alam IX.
Strata sosial pada masyarakat feodal Surakarta dan Yogyakarta;
- Kaum bangsawan yang terdiri dari raja dan keluarga, serta kerabatnya.
- Golongan priyayi, yaitu pegawai kerajaan yang terdiri dari orang-orang yang berpendidikan atau memiliki kemampuan khusus untuk kerajaan. Strata kedua ini bukan berasal dari keturunan raja.
- Golongan wong cilik, yaitu rakyat jelata yang hidup mengabdi untuk raja, mislanya petani, nelayan, dan pedagang.
Lapisan Sosial Masyarakat Feodal di Sulawesi Selatan
Masyarakat Sulawesi Selatan memiliki latar belakang feodalisme. Banyak kerajaan besar pernah berkuasa di sana, seperti kerajaan Gowa, Bone, dan Mandar. Melihat latar belakang tersebut, tidaklah heran apabila masyarakat Sulawesi Selatan terdapat strata sosial;
- Golongan bangsawan atau keturunan raja-raja yang disebut anakurung pada lapisan atas. Golongan ini memiliki gelar tertentu, seperti andi atau karaeng.
- Lapisan kedua diduduki oleh orang merdeka atau bukan budak yang disebut to-maradeka.
- Golongan ketiga disebut ata, yang terdiri dari para budak yang meliputi orang-orang yang tidak mampu membayar utang atau orang-orang yang kalah perang.
Berbagai daerah di Indonesia memiliki latar belakang sejarah feodalisme yang panjang. Maka, tidak heran jika sampai saat ini sebagian masyarakat kita, masih menerapkan sistem stratifikasi sosial yang tertutup dengan menempatkan status sosial seseorang berdasarkan keturunannya.