Rekonsiliasi adalah sebuah tema yang banyak menghiasi wacana publik belakangan ini. Hal itu tidak terlepas dari merebaknya berbagai kekerasan dan konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat, yang selain menimbulkan berbagai efek negatip seperti dendam, kebencian, trauma, dll., juga karena cara penyelesaiannya seringkali dipersoalkan. Konflik tampaknya merupakan fenomena universal kehidupan manusia baik dalam ranah sosial maupun budaya.
Pengertian Rekonsiliasi
Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang suatu konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali makna dari konflik secara positif. Rekonsiliasi adalah mengacu kepada membangun kembali hubungan antar manusia yang teralienasikan dan terpisah antaranya selama konflik berlangsung. Rekonsiliasi terjadi tidak hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat spiritual, sosial, struktural, dan ekologikal.
Jika kita melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa rekonsiliasi adalah sesungguhnya difokuskan kepada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari konflik. Dimensi relasional akan menghubungkan kita dengan aspek emosional dan psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya.
Selain itu ia akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan atas apa yang telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa lampau dan meminta pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun rekonsiliasi juga bagaimana kita dapat mengeksplorasi masa depan bersama yang lebih baik. Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda, mempertemukan segala energi yang ada, dan semua paradox dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian akan bertemu.
Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Walaupun secara umum dipahami sebagai cara untuk mengakhiri konflik (resolusi konflik), rekonsiliasi sebagai istilah dan konsep tidak diartikan secara sama oleh para ilmuwan dan praktisi. Beberapa definisi, misalnya, mengartikan rekonsiliasi sebagai suatu peristiwa (event). Sebagian lagi menyatakan rekonsilasi sebagai proses dan hasil sekaligus. Beberapa peneliti lainnya beranggapan rekonsiliasi lebih tepat dipandang sebagai pemulihan hubungan.
Umumnya, rekonsiliasi dimaknai sebagai suatu usaha untuk menyelesaikan konflik pada masa lalu sekaligus memperbarui hubungan ke arah perdamaian dan hubungan yang lebih harmonis pada masa yang akan datang. Pada bagian-bagian berikutnya, konsep rekonsiliasi akan dipaparkan secara lebih rinci menurut lima aspek.
- Pertama, rekonsiliasi berdasarkan model pendekatan teoretik, merujuk kepada salah satu model; rational choice atau game theory, human need theory, dan forgiveness model.
- Kedua, lingkup rekonsiliasi ( spheres of reconciliation) merujuk pada pelbagai aspek hubungan (identitas, sikap, keyakinan dan perilaku).
- Ketiga, komponen rekonsiliasi, merujuk pada pelbagai kebutuhan sosial dari pihak yang terlibat konflik (keadilan, kebenaran, penyembuhan dan rasa aman), dan.
- Keempat,tingkatan rekonsiliasi, yang merujuk pada tingkatan intervensi rekonsiliasi; apakah pada tingkat interpersonal, komunitas dan nasional.
- Terakhir, rekonsiliasi dari aspek pendekatan, apakah pendekatan dari bawah (bottom-up approach) ataukah dari atas (top-down approach).
Elemen – Elemen Dalam Rekonsiliasi Menurut lederach
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach (1999,29) adalah suatu tempat yang didalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama. Lebih lanjut menurutnya, sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan
- kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;
- adanya sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan;
- perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan, kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir adalah adanya syarat
- keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.
Dalam hal ini jika kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ada tercakup didalamnya 2 elemen penting didalamnya, yaitu rekonsiliasi sebagai sebuah fokus dan rekonsiliasi sebagai sebuah locus. Sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu prespektif yang dibangun dan diarahkan dalam memperbaiki atau memulihkan aspek relasional yang ada dalam suatu konflik.
Hampir dapat dipastikan bahwa jika konflik terjadi, maka bangunan relasional baik antar individu, antar kelompok, maupun antar pihak akan terganggu. Rekonsiliasi berkaitan dengan ini dapat dipahami dipahami sebagai suatu prespektif yang secara sengaja dibangun bagaimana mengagendakan itu semua.
Selain itu sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipahami juga sebagai suatu paradox yang mencoba mempertemukan kontradiksi yang ada, semisal bagaimana mempertemukan sisi-sisi yang negatif dari dampak yang ditimbulkan oleh konflik (benci, amarah, dendam, dll) dengan sisi-sisi positif dari sebuah pengharapan masa depan atas semua pelajaran yang diterima dari sebuah konflik yang terjadi (harapan baru, semangat akan perubahan, dll).
Sebagai sebuah locus, kita dapat menyebut rekonsiliasi sebagai suatu gejala sosial, yang mana ia merepresentasikan suatu ruang, ruang atau tempat atas bertemunya pihak-pihak yang berkonflik. Rekonsiliasi haruslah dapat proaktif dalam menciptakan peluang-peluang yang kreatif dan inovatif, dimana para pihak yang berkonflik dapat memfokuskan bagaimana membangun hubungan relasional mereka agar dapat lebih baik dan berkesinambungan.
Dan tentunya bagaimana dapat membagi pandangan, perasaan, dan pengalaman antar mereka, dengan tujuan menciptakan suatu pemikiran baru atas interpretasi hubungan mereka dulu yang penuh dengan kekerasan dan sisi negatif menjadi hubungan yang lebih konstruktif.
.