Pada bagian ini, kamu akan belajar menceritakan kembali isi teks biografi.
Kegiatan 1
Menceritakan Kembali Teks Biografi dengan Pola Penyajian yang Berbeda
Pada bagian terdahulu, kamu sudah belajar menyajikan penggambaran karakter unggul tokoh dengan pola penyajian yang berbeda.
Pola penyajian secara narasi penuh dapat kamu lihat contohnya pada biografi B.J. habibie, sedangkan pola penyajian campuran antara naratif dan dialog dapat kamu lihat pada biografi George Saa.
Sekarang berlatihlah untuk mengubah pola penyajian teks biografi dengan mengerjakan tugas berikut ini.
Tugas
- Bacalah kembali teks biografi George Saa, Si Genius dari Papua.
- Baca kembali hasil kerjamu pada pembelajaran informasi pokok isi biografi.
- Ubahlah pola penyajian teks biografi tersebut menjadi naratif utuh, tanpa dialog.
Jawab :
George Saa, Si Jenius dari Papua
Ia dikenal sebagai Sang Jenius dari Papua. Ia lahir di Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindahpindah mengikuti orangtuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orangtua. Dia adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Indonesia. Makalahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Rumus Penghitung Hambatan antara Dua Titik Rangkaian Resistor yang ditemukannya diberi namanya sendiri yaitu “George Saa Formula”.
Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenang First Step to Nobel Prize in Physic yang itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri atas 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas. Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu istrinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian. Kelima anak Silas mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala itu. Apulena Saa, putri sulung Silas, mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana
Kehutanan lulusan Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putra kedua, saat ini tengah menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa, putra ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Agustinus Saa, putra keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional.
Kemiskinan membuat Oge harus hidup serba hemat dan dalam . Oge ering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP karena tidak punya uang untuk membayar angkutan. Jarak rumahnya ke sekolah sekitar 10 km.
Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini adalah orang yang haus untuk belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata karena ia menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini. Oge menyukai semua mata pelajaran, bukan hanya fisika.
Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia.
Kebrilianan otak mutiara hitam dari timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah.
Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun, mamanya melarang putra bungsunya berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat. Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah Papua.
Oge kemudian membuktikan bahwa kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi tangis haru ketika November 2003 ia menduduki peringkat delapan dari 60 perserta lomba matematika kuantum di India. Prestasinya memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak pernah menangis lagi. “Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,” kata dia.
Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah orisinil gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan jempolan.
Setelah menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri Pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar. George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, mendatangi dirinya. Utusan itu mengatakan bahwa Oge diminta menemui Abu Rizal Bakri.
Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.boleh memilih negara mana pun. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku dan biaya hidup. Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara.
Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan aerospace engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).
Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science. Sebuah jurusan yang terkenal sangat sulit. Begitu sulitnya, sampaisampai banyak orang Amerika mengatakan, you don’t need rocket science to figure it out,’’ katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus. George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.
Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi Presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. Namun ia tak patah semangat. Ia kemudian bertekad membayar kegagalannya, ia harus bisamembuat pesawat, setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang.
Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. Selama satu jam ia hanya duduk diam karena tidak bisa berbahasa Inggris
Karena itu, tahun pertama, George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. Ia mempelajari lagi grammar dan kosakata. Geeorge akhirnya lulus pada akhir 2009.
Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute.