Masjid Demak merupakan salah satu masjid di Indonesia yang mengandung akulturasi dari Hindu Budha yang sangat kental. Arti dari akulturasi adalah suatu proses penyatuan unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu berhadapan dengan unsur kebudayaan itu terserap ke dalam kebudayaan penerima tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan sendiri (Dewabrata, 2009: 9).
Berikut akulturasi Islam, Hindu Budha dengan budaya asli Indonesia di Masjid Demak:
Mihrab
Mihrab atau tempat pengimaman, dimana di dalamnya terdapat hiasan seperti gambar bulus merupakan prasasti yang diartikan sebagai Condro Sengkolo maksudnya Sariro Sunyi Kiblating Gusti, ada yang menginterpretasikan, kepalanya menunjukkan angka 1, kakinya 4, badan 0 dan ekor 1, lambang dari tahun didirikannya tahun Saka 1401 atau 1479 Masehi. Jadi, selain memperindah ruang an juga memberi makna kapan masjid agung didirikan.
Hiasan ini termasuk menonjol dibanding ragam hiasan yang lain, dan mempunyai daya tarik tersendiri Hiasan berupa bulus ini berunsurkan budaya Jawa, sebab dalam Bahasa Jawa kata bulus dapat diartikan secara “jarwa dasa” yakni “mlebu alus”, yang dimaksud bahwa setiap orang yang masuk ke dalam masjid hendaknya berjiwa halus, melepaskan kesombongan, dan membuang jauh-jauh sifat-sifat keras atau kasar.
Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk kotbah, konon benda arkeologi itu disebut Damper Kencono warisan dari Majapahit. Pada dinding tembok Mihrab juga terdapat ornament Illahiyah, Keramik Annam dari Campa, Logo Surya Majapahit.
Maksurah
Bangunan kayu berukir dinamakan Maksurah atau Kholawat yaitu tempat untuk Mujahadah Adipati jaman dulu. Artefak bangunan berukir peninggalan masa lalu ini memiliki nilai dan bangunan estetika yang unik dan indah, sehingga relatif mendoinasi keindahan di ruang dalam masjid. Maksurah ini dipergunakan penguasa dakam menunaikan sholat dan Munajat untuk memperoleh barokah, rahmat dan hidayah Allah SWT. Dilluar maupun di dalam artefak terdapat tulisan berukir dengan bahasa dan huruf Arab yang intinya memuliakan Keesaaan Tuhan. Prasasti di dalam aqsuro menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M yang saat itu Adipati Demak dijabat K.R.M.A. Aryo Prubaningrat.
Dampar Kencana
Dampar Kencana ini adalah benda Arkeologi peninggalan Majapahit abad ke 15. Konon ini hadiah untuk Raden Pattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke 5 / Raden Kertabumi. Dalam rangka perluasan dan renovasi masjid Demak, atas saran R. Fatahillah kepada Sultan Demak ke 3 R. Trenggono, maka pendopo dan Dampar Kencana dari Majapahit dialih funngsikan menjadi serambi Masjid dan menjadi Mimbar Khotbah di Masjid Agung Demak sampai saat ini.
Soko Guru
Empat Soko Guru atau tiang utama merupakan konstruksi penyangga kerangka dan atap Masjid. Empat tiang utama menggambarkan, betapa para Wali menerima ajaran agama Islam yang bersumber dari ajaran Syafi’iah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah), sebagai implementasi dari iman, Islam dan ikhsan. Fomasi tata letak 4 Soko Guru : yang ada di barat laut didirikan oleh Sunan Bonang-Tuban, yang di barat daya dari Sunan Gunung Jati-Cirebon, di bagian tenggara oleh Sunan Ampel-Surabaya, yang berdiri di timur laut oleh Sunan Kalijaga-Kadilangu Demak (masyarakat menamakan soko ini dengan nama Soko Tatal).
Soko Majapahit
Delapan buah soko guru serambi Masjid Agung Demak ini adalah benda purbakala asal kerajaan Majapahit, hadiah dari Prabu Brawijaya V R. Kertabumi, ayahanda R. Jimbun, R. Hasan, R. Patah sebagai Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro, Demak 1475.
Pawestren
Bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jamaah wanita ini dinamakan Pawestren, jumlah tiang penyangga 8 buah dimana 4 batang tiang utama ditopang belandar balok susun tiga yang diukir motif Majapahit. Luas lantai yang bermanfaat untuk sholat membujur kiblat berukuran 15 x 7,30 m. bila dilihat dari bentuk motif pada Maksurah tahun 1866 M Pawestren dibuat pada jamannya K. R. M. A. Arya Purbaningrat.
Pintu Bledeg
Pintu Bledeg (petir) ini ciptaan Ki Ageng Selo pada jaman Wali, konon beliau yang memiliki kesaktian itu dapat menangkap petir, kemudian daun pintu yang terletak di tengah Masjid itu orang menamakan “Pintu Bledeg”. Sesungguhnya “Prasasti” ini merupakan Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H yang diprediksi sebagai tanda perletakan batu pertama pembangunan Masjid.
Surya Majapahit
Surya Majapahit yaitu hiasan segi 8 ini sangat populer pada masa Kerajaan Majapahit, sehingga para ahli purbakala menafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit yang dinamakan Surya Majapahit, pada Masjid Agung Demak terdapat beberapa hiasan Surya Majapahit. Makam Jumadil Kubro ( Guru besar para wali ) di Troloyo terdapat tulisan Jawa Kuno angka tahun 1376 – 1611 M, terletak didalam situs Trowulan bekas Kerajaan Majapahit di Mojokerto Jatim. Batu Nisannya juga terdapat hiasan Surya Majapahit, bahkan disertai tulisan Arab yang memuat surat Ali Imron ayat 18 dan 185 serta kalimah Syahadat. Inti tulisan tersebut adalah mangakui keesaan Allah SWT yang bersifat kekal. Hal itu mengidentifikasikan telah ada penduduk atau bangsawan beragama Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lainnya yaitu Hindu – Budha pada zaman nenek moyang kita.
Bedhug dan Kenthongan
Bedhug dan Kenthongan, kedua benda tersebut merupakan hasil ciptaan Sunan Kalijaga, yang digunakan untuk memberi tahu yang belum mengetahui arti panggilan adzan. Makna filosofis yang terkandung dari suara bedhug dan suara kenthongan adalah dheng … dheng … dheng …, berarti sedheng artinya masih cukup untuk menampung jamaah yang akan sholat. Sedangkan suara kenthongan thong … thong … thong … mengandung maksud bahwa mushola/masjid masih kothong (kosong atau belum berisi), dilanjutkan dengan adzan yang memerintah agar Umat Islam segera melakukan sholat berjamaah. Kedua alat ini merupakan alat yang tidak asing bagi masyarakat.
Ditinjau dari seni budaya alat itu disamping sebagai alat panggilan sholat, juga berfungsi sebagai seni atau alat komunikasi secara tradisional, bahkan sampai saat ini kedua alat itu masih digunakan sebagai pelengkap pada masjid-masjid. Bedhug dan kenthongan yang asli buatan Sunan Kalijaga masih terawat baik di Museum Masjid Agung Demak.