Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) memainkan peran utama sejak zaman praaksara. Faktor geografis ini tampaknya merupakan faktor permanen dalam Hindu-Budha, ketika jalur utama dalam pelayaran samudra semakin pesat dan mengintegrasikan daerah antarpulau. Kondisi demikian didukung dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif dalam perdagangan laut, dan mengarungi lautan.
Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar di Nusantara sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara terutama era Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit. Nusantara merupakan salah satu pusat dan jalur perdagangan yang memiliki peran penting, terutama Selat Malaka yang merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan.
Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama Jalur Sutra. Dinamakan Jalur Sutra karena komoditas kain sutra yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan ke berbagai wilayah lain. Dengan adanya jalur perdagangan yang melintasi sepanjang Selat Malaka, kehidupan penduduk menjadi lebih sejahtera yang disebabkan oleh Proses Integrasi perdagangan dunia melewati jalur laut tersebut. Masyarakat di sana juga semakin terbuka dengan pengaruh budaya luar.
Pusat Perdagangan dan Jalur Pelayaran Sebelum Jatuhnya Malaka
Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku. Perdagangan dan pelayaran yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan.
Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangannya adalah cengkeh, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-pulau sekitarnya.
Di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.
Pusat Perdagangan dan Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai. Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore. Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-pedagang Portugis menyingkir ke Aceh, Banten, dan Makasar. Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan pedagang-pedagang luar.
Karena jalur melalui Selat Malaka sudah dikuasai Portugis, maka mereka membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera. Pedagang-pedagang Islam berangkat dari bandar Banten lalu masuk selat Sunda terus berlayar ke luar melalui pantai barat Sumatera. Sebaliknya, Banten juga didatangi pedagang-pedagang dari luar seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki, Myanmar Selatan, dan Keling. Kapal-kapal yang berasal dari Banten ataupun ke Banten banyak juga yang singgah ke Aceh.
Sementara itu, pedagang-pedagang Islam dari Malaka juga banyak yang mengalihkan kegiatannya ke Aceh sebagai akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam. Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting, yakni Ternate dan Tidore.
Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Jalur Perdagangan
Jaringan perdagangan dan pelayaran dimulai dimulai sejak abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat). Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka, Calicut sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Indonesia, melalui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu pusat dan salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur-Asia Barat (Timur Tengah dan semenajung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui,bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis,iklim/cuaca,maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan
kunci penting.
Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di Nusantara bahkan jaringan dagang internasonal Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda. Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku). Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa.
Perkembangan perdagangan dan pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya. Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia.
Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia).
Berkat komoditas beras dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.
Dampak dari Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Jalur Perdagangan
Jalur-Jalur perdagangan berkembang pada saat itu di wilayah nusantara akibat adanya faktor kepentingan ekonomi pada saat itu, terutama kegiatan ekonomi kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Nusantara. Pada masa perkembangan Hindu-Budha terdapat dua kekuatan peradaban besar yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Kedua peradaban ini memiliki pengaruh yang amat besar bagi penduduk Indonesia.
Seperti pada awal tahun 1500-an wilayah Nusantara sedang mengalami proliferasi kekuasaan, yang mana banyak bermunculan kota-kota pelabuhan sebagai tempat penumpukan barang dagangan, termasuk berlangsungnya perdagangan internasional. Terjadinya komunikasi antar bangsa baik dengan barat maupun utara menimbulkan aliran besar cultural yang membawa ideology, sistem kepercayaan, sistem politik dan berbagai unsur kebudayaan lainnya seperti sastra, kesenian, filsafat dan sebagainya.
Dampak positif
- Banyaknya kapal kapal asing yang memasuki wilayah nusantara untuk transit
- Banyaknya barang dan jasa hasil expor dan impor sehingga pendapatan negara bertambah
- Meningkatkan pendapatan penduduk di sekitar pelabuhan
- Memudahkan proses expor dan impor antar negara dan pulai di indonesia
Dampak negatif
- Banyaknya kasus penyelundupan barang barang haram seperti narkotika dan ganja
- Banyaknya warga negara asing yang ingin bermigrasi ke australia melalui jalur perdagangan membuat wilayah indonesia rawan terjadi penyelundupan.