Bahasa merupakan fenomena sosial. Kita tidak dapat memisahkan bahasa dari kebudayaan di dalam masyarakat, sebab hubungan antara keduanya sangat erat. Bahasa itu sudah menyatu benar dengan orang yang menggunakannya dan memlikinya. Karena bahasa itu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kebudayaan di dalam masyarakat, maka setiap bahasa merefleksikan kebudayaan masyarakat pemakainya. Bahasa itu merupakan bagian dari sistem nilai, kebiasaan, dan keyakinan yang kompleks yang membentuk suatu kebudayaan.
Semua kebudayaan mempunyai konvensi. Cara berperilaku, berpakaian, duduk, makan, berbicara, meminang dan sebagainya mengikuti konvensi ada tata cara yang disepakati yang dibakukan. Karena bahasapun salah satu bentuk perilaku, maka mudahlah dipahami bahwa bahasapun merupakan konvensi. Bahasa digunakan sesuai dengan standar yang disepakati dan diikuti bersama oleh kelompok masyarakat tertentu.
Masyarakat Tutur
Menurut Wijaya dan Muhammad masyarakat tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bhasa tertentu yang dpat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. Chaer dan Agustina mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang atau masyarakat memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu.
Fishman dalam Chaer dan Agustina mengatakan masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Masyarakat tutur menurut Kridalaksana ialah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standart yang sama.
Gumperz dalam Sumarsono mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai. William Labov dalam Sumarsono) mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur dalam seperangkat norma bersama ; norma ini bias diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasai yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech) yang berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan.
Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda. Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil.
Anggota-anggota sebuah masyarakat tutur tidak hanya dicikan oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Misalnya, masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta memiliki persepsi bahwa varian bahasa yang digunakannya memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian dialektal yang lain seperti bahasa Jawa dialek Jawa Timur.
Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek. Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan Agustina mengatakan bahwa masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Bahasa dan Tingkatan Sosial di Masyarakat
Adanya tingkatan sosial di masyarakat dapat di lihat dari dua segi: pertama dari segi kebangsawanan, dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang di tandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang di miliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetepi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikan yang baik namun taraf perekonomiannya kurang baik. Dan sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikannya kurang tapi memiliki taraf perekonomian yang baik.
Kuntjaraningrat membagi masyarakat jawa menjadi 4 tingkatan, yaitu: 1. Wong cilik, 2. Wong sudgar, 3 priyayi dan 4. ndara. Sedangkan Clifford Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 tingkatan yaitu: 1. Priyayi, 2. Orang yang berpendidikan dan bertempat tinggal di kota dan 3. Petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Dari kedua jenis penggolongan di atas jelas adanya perbedaan tingkatan dalam masyarakat tutur bahasa jawa. Berdasarkan tingkatan itu, maka dalam masyarakat jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang di gunakan di kalangan wong cilik tidak sama dengan wong sudagar dan status di atas mereka.
Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara maka masing-masing menggunakan variasi bahasa yang berbeda, pihak yang memiliki tingkat sosial yang rendah akan menggunakan variasi bahasa yang lebih tinggi atau dalam bahasa jawa di sebut bahasa karma inggil ketika berbicara dengan yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi, sebaliknya apabila orang yang memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi bebicara dengan yang tingkatan sosoialnya lebih rendah maka variasi bahasa yang di gunakan adalah variasi bahasa yang lebih rendah atau bahasa ngoko.
Variasi bahasa yang penggunaanya berdasarkan pada tingkatan-tingkatan sosial ini di kenal dalam bahasa jawa dengan istilah undak usuk. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang di sebut undak usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosial terhadap lawan bicaranya. Adakalanya mudah, tetapi sering kali tidak mudah. Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebih tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih rendah tetapi lebih tua dari lawan bicaranya.
Kesulitan ini ditambah pula dengan semacam kode etik, bahwa seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat di lihat betapa rumitnya pemilihan variasi bahasa untuk berbicara dalam bahasa jawa.
Uhlenbeck membagi variasi bahasa menjadi tiga yaitu krama, madya dan ngoko. Lalu masing-masing di perinci lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wredakrama madya ngoko madyantara dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan Clifford geertz membagi dua bagian pokok yaitu krama dan ngoko lalu krama di perinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya, sedangkan ngoko di perinci manjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Untuk lebih jelas lihat contoh yang di angkat dari suwito, pada contoh berikut dapat dilihat adanya variasi bahasa krama dan ngoko dilihat dari sipenanya, kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih rendah dari si penjawab maka biasanya di gunakan bentuk krama dan si penjawab menggunakan bentuk ngoko, kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari si penjawab, maka dia menggunakan bentuk ngoko sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama.
Kalau penanya dan penjawab memiliki kedudukan yang sederajat, maka kalau si penanya menggunakan bentuk krama si penjawab juga memekai bentuk krama pula, dan apabila si penanya menggunakan bentuk ngoko maka si penjawab juga harus memakai bentuk ngoko.
Dari uraian di atas, jelas, yang di maksud dengan tingkat sosial masyarakat itu adalah status di mana seseorang mempunyai kedudukan dari segi pendidikan maupun dari segi ekonomi. Lalu bagaimanakah hubungan antara bahasa dengan tingkat sosial masyarakat?. Tingkatan sosial seseorang di masyarakat sangat mempengaruhi cara berbahasa dengan orang lain dan menjadi ukuran bagi lawan bicara agar menggunakan variasi bahasa dengan melihat status sosial seseorang di masyarakat.
Verbal Repertoire
Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
- Masyarakat tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula.
- Masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan. fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Sedangkan Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
- Masyarakat monolingual (satu bahasa)
- Masyarakat bilingual (dua bahasa)
- Masyarakat multilingual.(lebih dari 2 bahasa)
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.
Hubungan Bahasa dengan Masyarakat
Bahasa dan masyarakat, bahasa dan kemasyarakatan, dua hal yang bertemu di satu titik, artinya antara bahasa dan masyarakat tidak akan pernah terpisahkan. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh anggota masayarakat sebagai alat komunikasi, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa begitu melekat erat, menyatu jiwa di setiap penutur di dalam masyarakat.
Ia laksana sebuah senjata ampuh untuk mempengaruhi keadaan masyarakat dan kemasyarakatan. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan di dalam masyarakat inilah di namakan fungsi bahasa secara tradisional. Maka dapat di katakan hubungan antara bahasa dan penggunanya di dalam masyarakat ini merupakan kajian sosiolinguistik.
Berbicara tentang bahasa dan masyarakat, maka tidak terlepas dari istilah “ masyarakat bahasa”. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang memiliki bahasa bersama atau merasa termasuk dalam kelompok itu, atau berpegang pada bahasa standar yang sama. Masyarakat tutur adalah istilah netral. Ia dapat dipergunakan untuk menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bentuk bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dalam bahasanya.
Berbicara tentang bahasa dan masyarakat tentu tidak terlepas dengan kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, maka titik tolaknya adalah hubungan bahasa dengan kebudayaan dari masyarakat yang memiliki variasi tingkat- tingkat sosial. Ada yang menganggap bahasa itu adalah bagian dari masyarakat, namun ada yang menganggap bahasa dan kebudayaan itu dua hal yang berbeda, tetapi hubungan antara keduanya erat, sehingga tidak dapat dipisahkan, yang menganggap bahasa banyak dipengaruhi oleh kebudayaan, sehinnga apa yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa.
Di sisi lain ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia, atau masyarakat penuturnya. Bagaimanakah bentuk hubungan antara bahasa dengan masyarakat? Bentuk hubungan bahasa dengan masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat.
Sebagai contoh di dalam kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan yang sifatnya santai ( non formal ) kita menggunakan bahasa yang tidak baku, di dalam kegiatan berkarya seni kita menggunakan ragam sastra dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan menggunakan bahasa yang benar, yaitu penggunaan bahasa pada situasi yang tepat atau sesuai konteks di mana kita menggunakan bahasa itu untuk aktivitas komunikasi.
Kebangsawanan dan Bahasa
Masyarakat merupakan keadaan yang beragam, termasuk tingkatan sosial didalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial yang ada didalam masyarakat. Tingkatan sosial di dalam masyarakat ini dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, dari segi kebangsawanan; dan yang kedua dari segi kadudukan sosial yang berupa tingkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi yang dimiliki.
Biasanya orang yang mamiliki taraf pendidikan tinggi maka keadaan perekonomian juga tinggi, namun hal ini tidaklah mutlak.Bisa saja orang yang memiliki taraf pendidikan yang baik, namun taraf perekonomianya kurang baik. Di sisi lain orang yang tidak memiliki taraf pendidikan yang baik, namun memiliki keadaan sosial ekonomi yang baik.
Kebangsawanan dan bahasa, bagaimanakah bentuk hubunganya? Untuk dapat melihat hubunganya, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Di lihat dari segi kebangsawanan, masyarakat Jawa di bagi menjadi beberapa tingkat, antara lain wong cilik, wong saudagar, priyayi dan ndara (menurut pendapat Kuntjaraningrat). Dari penggolongan itu jelas adanya pebedaan tingkat dalam masayarakat tutur bahasa jawa. Dasarkan penggolongan, maka di dalam masyarakat jawa memiliki berbagai variasi bahasa yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya.
Ragam bahasa yang di gunakan oleh kalangan wong cilik berbeda dengan ragam bahasa yang di gunakan oleh para priayi. Tingkat sosial yang berbeda juga menyebabkan perbedaan variasi yang berbeda. Sebagi contoh apabila wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing – masing menggunakan variasi bahasa jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko.
Variasi bahasa seperti ini di dalam bahasa jawa disebut undak usuk. Penggunakan tingkatan bahasa yang disebut undak usuk ini mempertimbangkan kedudukan tingkat sosial yang dimiliki. Adanya tingkat – tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dulu kedudukan sosialnya terhadap lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah.
Lebih – lebih lagi kalau terjadi si penutur lebig tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan bicarnya. Kesulitan ini di tambah pula dengan semacam kode otik, bahwa seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat di lihat betapa rumitnya pemilihan var iasi bahasa untuk berbicara bahasa jawa.
Berkaitan dengan adanya undak usuk ini bahasa jawa terbagi menjadi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah.namun diantara keduanya masih terdapat adayan tingkat – tingkat anatara. Seorang pakat bahasa jawa bernama Uhlenbeck membagi tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya,dan ngoko.selanjutnya, masing – masing di bagi lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama, madyangngko, madyantara, dan madyakrama; ngoko sopan dan ngoko andhap.
Cliffort Geertz, membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama diperinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya. Sedangkan ngoko diperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multi etnis, tingkat status sosial berdasarkan derajad kebangsawanan mungkin sudah tidak ada , atau walaupun ada sudah tidak domonan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat status sosial ekonomi. Itulah keadaan masyarakat ibu kota yang di kenal sebagai golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah.
Pihak yang berpredikat golongan atas, golongan menengah ataupun golongan bawah bersifat relatif, agak sukar ditentukan, namun kalau dilihat dari keadaan/status sosial ekonomi, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan.Masalah kita sekarang adalah adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dari penggunaan bahasa.