Setiap umat Islam tentu nama Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak asing lagi walaupun wajah aslinya tidak semua orang pernah melihatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan sahabat sekaligus khalifah pertama yang dilantik sepeninggal Rasulullah.
Banyak persoalan yang menjadi tanggung jawab Abu Bakar Ash-Shiddiq mulai dari masalah murtad massal, nabi palsu, kabilah Arab yang menolak membayar zakat, hingga kelompok perusuh yang sewaktu-waktu menyerang Madinah. Dari semua masalah itu, sepak terjang Musailamah Al-Kaddzab paling menyita perhatiannya.
Musailamah Al-Kaddzab adalah nabi palsu dari Bani Hanifah. Sejak belia ia banyak terinspirasi oleh ajaran Nasrani. Di antaranya, ia suka memakai kalung salib dari perak. Ketika Rasulullah masih hidup, ia sudah mengaku sebagai nabi. Banyak orang tertipu dan mengikuti ajarannya. Terutama penduduk Yamamah, kota dimana ia tinggal. Bani Hanifah yang sebelumnya beriman kepada Nabi Muhammad termakan omongannya dan berubah haluan kepada Musailamah Al-Kaddzab.
Dalam menyesatkan orang, Musailamah Al-Kaddzab mengaku kerap menerima wahyu. Pernah terjadi dialog antara Musailamah dengan Amr bin Ash.
Musailamah bertanya kepada Amr, “Wahyu apa yang turun kepada Muhammad?” “Satu surat pendek yang sangat indah bahasanya,” kata Amr sembari membaca surat Al-Asr. Lalu Musailamah berpikir sejenak, kemudian berucap “Diturunkan juga kepadaku wahyu yang serupa.”
“Wahai marmut, wahai marmut. Engkau hanyalah dua daun telinga dan dada. Adapun selebihnya adalah hina dan berpenyakit.” “Bagaimana menurutmu, hai Amr?” tanya Musailamah penuh percaya diri.
Amr termangu, meski saat itu belum memeluk Islam, ia yakin bahwa Musailamah tak lebih dari seorang pembual. “Demi Allah, sungguh aku yakin jika engkau berdusta.”
Meski terbukti berbohong, pengikutnya tetap banyak. Mereka tersihir pesonanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang badui menemui Musailamah dan bertanya, “Siapa yang memberimu wahyu?”
“Makhluk kotor,” jawab Musailamah.
“Apakah ia datang di waktu siang atau malam?”
“Malam hari,” Musailamah kembali menjawab.
Si penanya lalu menyimpulkan, “Aku bersaksi dan menyatakan bahwa kamu hanyalah pendusta. Muhammad adalah nabi yang benar. Tapi, aku lebih suka pendusta dari kabilah Rabiah (Musailamah) daripada orang jujur dari kabilah Mudhar (Muhammad).”
Sepak terjang Musailamah menyebabkan madharat yang besar. Nabi palsu tersebut menyesatkan banyak orang atas nama Islam. Demi menyelamatkan ummat dan sebagai hukuman bagi nabi palsu, Abu Bakar menyatakan perang. Beliau sadar melawan Musailamah tidak mudah, karena itu beliau memilih Khalid bin Walid sebagai panglima perang.
Musailamah juga bersiap siaga untuk melawan, ia tahu bahwa lawan yang dihadapinya adalah sekelas Khalid bin Walid sang pedang Allah. Tapi, ia yakin dapat mempertahankan Yamamah karena memiliki keunggulan, jumlah pasukan yang besar dan lebih mengenal medan.
Pada perang ini Khalid membawa 8.000 pasukan, dalam riwayat lain disebutkan sejumlah 12.000 pasukan. Jumlah itu tidak sebanding dengan pasukan yang dibawa oleh Musailamah yang sebesar 40.000 pasukan. Panji perang kelompok Muhajirin diberikan kepada Salim Maula Abu Hudzaifah. Sedangkan pemegang panji Anshar diamanahkan kepada Tsabit bin Qais. Meski bukan kali ini menghadapi musuh yang berkali-kali lipat jumlahnya, Khalid tidak mau meremehkan musuh.
Sebelum sampai di Yamamah, sekelompok pendukung Musailamah menghadang pasukan Islam dan menantang Khalid. Serangan ringan itu mudah dipatahkan, seluruh penyerang terbunuh. Hanya satu orang yang bernama Majaah bin Murarah dibiarkan hidup, Khalid menghormatinya sebagai tokoh besar Yamamah.
Saat pecah pertempuran, Bani Hanifah bertarung dengan gigih. Belum pernah mereka lakukan itu sebelumnya, pasukan Islam pun kewalahan. Satu persatu sahabat gugur di tangan lawan, meski berdarah-darah, pasukan tak gentar apalagi mundur. Melainkan saling memberi semangat dan dukungan kepada pasukan Islam lainnya.
Zaid bin Khattab berseru, “Saudaraku, bertahanlah! Serang musuh, jangan mundur.” Ia berjanji tak akan bicara lagi hingga menang atau syahid. Tsabit bin Qais mengubur kakinya separuh betis agar tidak mundur. Ia lalu mengenakan kafan dan melumurinya dengan minyak wangi. Tangan kanannya menghunus pedang, tangan kirinya mempertahankan panji perang. Sahabat Anshar itu bertempur dalam posisi tersebut hingga syahid menemuinya.
Salim, pembawa panji perang Muhajirin juga tak mau kalah. Fisiknya yang terlihat ringkih memang mengundang perhatian musuh. Para sahabat pun mencemaskannya, namun ia berujar, “Alangkah jeleknya diriku sebagai penghafal Al-Qur’an, jika aku menjadi titik kelemahan kalian.” Ia bertempur dengan gigih berani hingga titik darah penghabisan.
Situasi genting membuat Khalid berpikir cepat bagaimana cara membalik keadaan. Dalam pikirannya, untuk memenangkan pertempuran ini Musailamah harus dilenyapkan segera. Seperti melumpuhkan ular dengan memotong kepalanya. Khalid lalu maju ke barisan terdepan menantang Musailamah adu tanding.
Musailamah gentar, keberaniannya menguap. Adu tanding melawan Khalid sama saja dengan menantang maut. Ia perintahkan prajurit di sekelilingnya menjawab tantangan Khalid. Satu persatu prajurit pilihan Musailamah dilumpuhkan. Mereka tak berdaya mengatasi sang ‘pedang Allah’ yang terhunus.
Nyali perang Musailamah menghilang, ketakutannya menular kepada pasukan. Keadaan pun berbalik, kaum muslimin kian termotivasi menang setelah sebelumnya terdesak. Musailamah lalu menarik pasukannya mundur ke dalam benteng. Mengubah strategi perangnya menjadi bertahan total. Benteng tempat berlindung itu berupa lapangan luas yang dilindungi pagar batu tinggi dan tebal.
Benteng itu nyaris tak tertembus, prajurit muslim yang mendekat menjadi target lemparan panah dan tombak. Cara cepat menguasai benteng ialah dengan membuka gerbang dari dalam dalam. Untuk itu, Barra’ bin Al-Ma’rur meminta pasukan muslimin melemparnya ke dalam benteng. Sahabat tersebut mendarat di dekat gerbang dan berhasil membukanya. Pasukan Islam langsung membanjiri benteng tersebut dengan cepat. Tak ada tempat lagi bagi musuh untuk bersembunyi, satu per satu musuh pun tewas. Banyaknya korban yang jatuh membuat para ahli sejarah menyebut tempat itu sebagai ‘ladang kematian’.
Pertahanan terakhir Musailamah patah, ia terjepit di pinggir tembok dan tak bisa kabur. Para sahabat langsung memburunya, adalah Wahsyi bin Harb yang sejak awal mengincarnya untuk dilemparkan tombak ke arah tubuh Musailamah. Wahsyi bin Harb melemparkan tombaknya dan menembus tubuh Musailamah, sebelum jatuh, Abu Dujanah Simak bin Khirasyah menebasnya dengan pedang. Musailamah tersungkur ke tanah sambil menghembuskan nafas terakhir.
Begitulah akhir kematian sang nabi palsu, Musailamah Al-Kaddzab. Semoga kita dapat mengambil hikmah atau ibrah dari kisah tersebut.